Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dalam hukum Adat Nagari Padam Gadang

indra yodris, anggun Lestari Suryamizon, mahlil adriaman

Sari


Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum yang disebut dengan penggarap untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas atas tanah kepunyaan orang lain yang disebut dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut imbangan yang disetujui. Dalam hukum adat minangkabau perjanjian bagi hasil tanah pertanian tidak perlu mendapat persetujuan atau disaksikan oleh persekutuan yang hanya cukup dengan lisan dan jika diperlukan hanya disaksikan oleh kerabat tetangga tanpa sepengetahuan persekutuan. Sedangkan perjanjian bagi hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil perbuatan ini merupakan suatu hal yang mesti dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan demi kepastian hukum oleh para pihak yang terkait. Meskipun telah dikeluarkannya peraturan tentang bagi hasil, kegiatan bagi hasil tanah pertanian di daerah penelitian masih juga dilakukan tanpa berdasarkan kepada aturan prundang-undangan ini. Bentuk penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa terhadap para pihak dilakukan secara musyawarah dan mufakat antara anggota dalam satu kelompok, apabila penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat antara anggota dalam satu kelompok tidak selesai, maka permasalah akan dilakukan secara lembaga nagari. Penelitian ini untuk mengetahui Bagaimana pelaksanaan dan upaya-upaya bagi hasil tanah pertanian di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh. Metode yang digunakan adalah yuridis sosiologis dengan menekankan praktek yang terjadi dilapangan dikaitkan dengan aspek hokum atau perundang-undangan sehingga dapat memberikan gambaran secara kualitatif dalam penelitian ini. Penjelasan dari rumusan masalah Bagaimana pelaksanaan dan upaya-upaya bagi hasil tanah pertanian di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh..Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan ternyata Bentuk penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa terhadap para pihak dilakukan secara musyawarah dan mufakat antara anggota dalam satu kelompok, apabila penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat antara anggota dalam satu kelompok tidak selesai, maka permasalah akan dilakukan secara lembaga nagari dan kegitan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di daerah penelitian masih dan tetap memakai hukum adat atau kebiasaan yang alami dan sudah turun menurun karena dianggap memenuhi rasa keadilan.

Kata Kunci


penyelesaian sengketa bagi hasil, tanah pertanian, hukum adat

Teks Lengkap:

PDF

Referensi


Buku:

Aburizal Bakrei, Merebut Hati Rakyat, Jakarta: PT. Primamedia Pustaka, 2004

A.P. Perlindungan, Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia (suatu studi komperatif), Bandung:

Mandar Maju,1989

Laksanto Utomo, Buku Ajar Hukum Agrarian Dan Property, Jakarta: Lembaga Studi Hukum

Indonesia, 2020

Rosnidar Sembiring, Hukum Pertanahan Adat, Depok: Rajawali Pers, 2018

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2016

Supriadi, Hukum Agararia, Jakarta: Sinar Grafik, 2012

Jurnal:

Muhammad Alif., Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1960 Di Kecamatan Soyo Jaya Kabupaten Morowali (Studi Kasus Di Desa Bau),

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol 3, No 2, 2015




DOI: https://doi.org/10.31869/plj.v0i0.3824

Article Metrics

Sari view : 355 times
PDF - 117 times

Refbacks

  • Saat ini tidak ada refbacks.


Indexed By :


Faculty of Law Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Jl. By Pass Aur Kuning, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.



Pagaruyuang Law Journal is licensed under CC BY-NC-ND 4.0